Wacana Pindah Ibukota: Antara Nyali, Tantangan Sejarah, Dan Tuntutan Kala Depan
Jakarta -Kondisi kemudian lintas Jakarta setiap hari cenderung memburuk, semakin macet, ruwet nan semrawut. Salah satu penyebabnya ialah tersebarnya lokasi kantor pemerintah sentra di Jakarta yang diperparah nir moda transportasi massal bermutu dengan layanan yang baik, jawaban salah ataupun lamban dalam menerapkan kebijakan. Padahal, sejatinya pemimpin ibukota kita di masa yang kemudian sanggup saja berguru banyak dari pengalaman sejumlah ibukota manca negara yang telah mendahului mengalami kemacetan luar biasa pada dekade 1990-an. Sebut saja Bangkok dan Metro Manila yang buruknya kondisi lalulintas sama parah dengan Jakarta pada ketika ini.
Buruknya kondisi armada trans massal merupakan salah satu faktor kegagalan pemangku kepentingan transportasi menarik demam isu masyarakat untuk menjadikannya sebagai pilihan. Bagi sebagian komuter, jangankan menaiki, melirik saja sudah 'ogah'. Di samping itu tata kelola permukiman penduduk di Jakarta juga terbilang "unik". Orang berada —"the haves"— 'numpuk' di tengah kota sementara kaum pekerja yang rata-rata menghadapi keterbatasan moda transportasi tersebar di pinggiran kota.
Hal itulah yang mengakibatkan pada ketika rush hours pagi dan malam hari, jalanan Jakarta dan sekitarnya benar-benar menyerupai neraka; padat, merayap, dan acak-acakan sebab penduduk —yang umumnya kaum pekerja— tumpah ruah ke jalan raya. Idealnya, orang kaya tinggal di pinggiran perkotaan, sementara para kau pekerja bermukim di apartemen atau rusun di tengah kota biar akrab dengan lokasi kerjanya.
Untuk mencari makan di ibukota, orang tidak perlu harus lulus perguruan tinggi tinggi, cukup bermodalkan SIM, dan nyali, armada sewaan atau milik sendiri. Arus urbanisasi yang meroket dari seantero pelosok negeri dari tahun ke tahun nyaris nir-pengawasan dari Pemda. Alasan niat mengais rezeki di ibukota yang gemah ripah loh jinawi merupakan pull factors yang nyata-nyata menciptakan pegawapemerintah Pemerintah Daerah DKI kewalahan menahan arus perpindahan penduduk ke Ibukota Jakarta.
Wacana yang Berulang
Di masa Orde Baru, Pemerintah Daerah DKI lebih gampang menekan laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta dengan tertib administrasi, dan mewajibkan pendatang gres membekali diri dengan surat jalan dari kepala desa, serta wajib lapor bagi tamu RT-RW untuk jangka waktu tertentu (sebut saja 1-3 bulan). Data kependudukan yang 'tidak jelas' tidak serta merta dibarengi acara pengawasan yang maksimal. Para politisi, pakar perkotaan dan pemikir berulang menyinggung wacana pemindahan ibukota ke luar daerah bahkan ke pulau di luar Jawa, menyerupai Palangkaraya yang didengungkan semenjak Orde Lama oleh Bung Karno. Namun, hal itu belum terwujud sampai detik ini sampai dimunculkan kembali oleh Presiden Jokowi beberapa hari yang lalu.
Alasan yang dikemukakan ialah dari geostrategi, lingkungan, ekonomi-politik sampai faktor alasan sejarah. Ide-ide dan alasan yang ditawarkan cukup beralasan. Dalam hal ini, wacana pemindahan ibukota dari Jakarta bukanlah semata-mata sebab faktor kemudian lintas. Syahdan, gagasan dan inspirasi itu muncul ketika Bung Karno pada 1959 dan 1960 diundang oleh mantan Presiden Brasil Juschelino Kubitschek, dan diajak blusukan ke daerah cikal bakal Ibukota Brasil ketika ini, Brasilia-DF (2 jam terbang dari Rio de Janiero). Bung Karno kala itu 'nyeletuk' akan memindahkan Ibukota NKRI ke Palangkaraya, Kalimantan atas bayangan pertimbangan kontur bumi yang mirip; landai dan tentu didorong oleh pertimbangan lainnya,.
Sejatinya wacana pemindahan ibukota atau pemerintahan yakni langkah yang masuk akal. Namun, perlu menimbang-nimbang dengan matang sejumlah faktor yang mempengaruhi, menyerupai biaya yang sangat tinggi dari pembangunan fisik, prasarana sampai biaya mutasi para pegawai di kemudian hari. Demikian pula dampak yang akan dialami oleh tamu negara, yang harus ikut memindahkan kantor perwakilannya di Jakarta ke ibukota yang gres menyerupai kita alami dari Rio de Janaiero ke Brasilia-DF di Brasil, dari Lagos ke Abuja di Nigeria, dan sanggup jadi Kuala Lumpur ke Putra Jaya atau Yangon Naphidau, Myanmar pada waktunya nanti.
Benar, bahwa pemindahan sebuah ibukota memerlukan biaya yang sangat besar; membangun fisik perkantoran dan gedung DPR-DPD dan forum tinggi negara lainnya dan segala fasilitasnya. Pemerintah harus menyediakan biaya ekstra untuk pembangunan kemudahan pendukung sampai biaya pemindahan karyawan, tuntutan insentif lainnya yang tidak kecil serta faktor risiko jumlah karyawan yang telah mapan, yang boleh jadi akan mengajukan pensiun dini dengan aneka macam alasan. Kita sanggup berguru dari success story wacana pemindahan ibukota sebuah negara lain.
Sekali lagi, sebut saja sejarah pemindahan ibukota Brasil ke Brasilia-DF yang sekarang, dari Rio de Janeiro (berjarak 1000-an km) pada 1960-an yang ternyata memaksa pemerintah mengeluarkan biaya ekstra lebih dari 2 kali lipat dari yang dianggarkan untuk biaya mutasi pegawai dan tuntutan insentif yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Pemindahan Ibukota RI ke luar Pulau Jawa tidak mustahil, namun perlu diperhitungkan secara matang. Tidak semua staf PNS akan bersedia dimutasi ke daerah gres sebab aneka macam faktor (ekonomi, psikologi, sosial dll).
Alternatif
Salah satu alternatif yang masih memungkinkan ialah dengan memindahkan atau membangun kota pemerintahan yang tertata rapi ke daerah tertentu, contohnya Halim Perdanakusuma. Kawasan ini sangat strategis dan paling sempurna jikalau dijadikan sebagai alternatif Pusat Kota Pemerintah, mengingat infrasruktur jalan-jalan yang telah tersedia, antara lain dikelilingi sejumlah ruas tol. Dan, andaikata terwujud, hanya diharapkan penambahan moda kereta api dari beberapa titik dari daerah Jabodetabek sebagai pendukungnya untuk memudahkan kanal massal publik dan karyawan.
Sebuah kantor Pusat Pemeritahan yang gres nanti diperkirakan memerlukan luas lahan sekitar 2500 Ha, dan hal itu masih cukup serta memadai di daerah Halim dengan memanfaatkan salah satu dari tiga lapangan golf (Halim I, Halim II, atau Halim III). Biarlah Jakarta tetap sebagai Ibukota Negara sebagai "peninggalan sejarah nasional" yang tidak mungkin dilupakan, namun Ibukota Pemerintahan (gedung kantor-kantor pemerintah) sanggup dipindah sesuai selera, keperluan dan perkembangan atau kepentingan zaman.
Dampak positifnya ialah tekanan komuter sebagai pemicu kemacetan ke tengah kota Jakarta akan berkurang signifikan. Hal ini tentu sanggup terwujud jikalau didukung oleh kemauan Presiden sebagai Panglima Tertinggi Tentara Nasional Indonesia serta akad bersama Eksekutif-Legislatif-Yudikatif. Sebagai alternatif pengganti pangkalan pertahanan utama yang sangat penting dan krusial, maka Tentara Nasional Indonesia AU yang ada di Halim ketika ini sanggup direlokasi ke daerah yang lebih strategis, contohnya di daerah Cikarang, Bogor, Jonggol atau lokasi yang dinilai lebih strategis namun 'tersembunyi dan aman'.
Untuk menghindari munculnya ekses daerah kumuh di sekitar Kota Pemerintahan yang baru, maka dewan perwakilan rakyat perlu menerbitkan UU wacana Ibukota yang melarang tumbuhnya daerah kumuh di sekitarnya sebelum pembangunan daerah dimulai sehingga spekulan tanah tidak merajalela. Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang, seberapa besar nyali pemerintah mewujudkan wacana kesejarahan Bung Karno akan Pusat Pemerintahan yang modern dan apik? Bukan sekedar menjawab tuntutan untuk memindahkan ibukota untuk mengurai kemacetan belaka, namun untuk kepentingan nasional yang lebih luas dalam jangka panjang.
Sahat Sitorus pengamat dilema sosial
Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Belum ada Komentar untuk "Wacana Pindah Ibukota: Antara Nyali, Tantangan Sejarah, Dan Tuntutan Kala Depan"
Posting Komentar