Indonesia Darurat Lahan Pangan? - Indonesia Bisnis

Indonesia Darurat Lahan Pangan?

Indonesia Darurat Lahan Pangan?Aktivis lingkungan dan karang tarunan cegah alih fungsi lahan (Foto: Muhajir Arifin)

Jakarta -

Tanggal 2 Februari kemudian yakni momen peringatan Hari Lahan Basah Sedunia. Sebuah peringatan untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai tugas penting lahan berair bagi kehidupan manusia, baik sebagai sumber air, tempat budidaya pertanian/perikanan, dan lainnya. Lahan berair sendiri berdasarkan Konvensi Ramsar terdiri dari tempat rawa, payau, lahan gambut, dan perairan lainnya menyerupai danau, sungai, bendungan, sawah, dan tambak.

Banyak duduk kasus yang terjadi pada banyak sekali lahan berair di Indonesia, mulai dari pencemaran, pembakaran, pendangkalan maupun alih fungsi dan lainnya. Dari sekian banyak duduk kasus tersebut, alih fungsi lahan merupakan yang paling mengkhawatirkan, terutama untuk lahan sawah. Data Kementerian ATR/BPN memperlihatkan pada 2018 luas baku sawah di Indonesia tinggal 7,1 juta hektar (ha) atau turun dibandingkan 2013 yang masih 7,75 juta ha.

Pada sisi lain, upaya pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk kegiatan cetak sawah hanya bisa menghasilkan sekitar 60 ribu ha sawah tiap tahunnya. Dengan begitu, Indonesia mengalami defisit sawah hampir sekitar 350 ribu ha selama 5 tahun terakhir.

Alih fungsi sawah menyebabkan potensi kehilangan pangan yang tinggi tiap tahunnya akhir berkurangnya luas tanam. Apabila diasumsikan produktivitas padi nasional yakni 5 ton per ha, maka Indonesia telah kehilangan minimal sekitar 350 ribu ton gabah per isu terkini tanam akhir alih fungsi sawah. Laju kehilangan tersebut sanggup semakin meningkat apabila terjadi serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) maupun gangguan iklim.

Kondisi tersebut nantinya akan memperkuat pendapat Malthus bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat daripada pertambahan materi makanan. Akibatnya, Indonesia di masa depan akan mengalami kekurangan pangan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cepat, dan solusi yang harus dilakukan yakni meningkatkan kuantitas impor pangan. Hal ini pada jangka panjang akan mengganggu kedaulatan pangan maupun kedaulatan nasional alasannya semakin besarnya ketergantungan pada negara lain.

Alih fungsi sawah juga menyebabkan investasi infrastruktur menjadi mubazir. Semua pihak perlu memahami bahwa sawah yang beralih fungsi ketika ini sebagian besar merupakan lahan subur yang telah dilengkapi infrastruktur irigasi. Dengan adanya alih fungsi sawah, maka investasi yang telah dikeluarkan pemerintah untuk membangun irigasi akan hilang dan tidak bisa memperlihatkan dampak peningkatan ekonomi masyarakat. Pemerintah juga akan semakin terbebani alasannya diharuskan terus melaksanakan cetak sawah gres untuk memastikan produksi pangan terus meningkat sementara alih fungsi sawah juga terus terjadi.

Alih fungsi sawah selanjutnya akan berdampak pada aspek sosial maupun ekologis, baik mengubah teladan interaksi antarmanusia serta teladan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungan. Indonesia juga akan kehilangan varietas lokal beberapa komoditi yang digantikan varietas gres dengan produktivitas tinggi.

Untuk menuntaskan duduk kasus ini, harus dipahami faktor penyebab alih fungsi sawah, baik di tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro, faktor pendorong utama alih fungsi sawah yakni rendahnya pendapatan perjuangan tani tumbuhan pangan. Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor tumbuhan pangan dalam beberapa tahun ini selalu tipis di atas angka 100 bahkan sering di bawah 100. Statistik tersebut memperlihatkan bahwa subsektor tumbuhan pangan ketika ini bahwasanya kurang prospektif.

Pemerintah perlu mendesain biar perjuangan tani lebih efisien dan bisa memperlihatkan kepastian harga. Efisiensi perjuangan tani tidak hanya dilakukan dengan memperlihatkan penyuluhan ataupun penyediaan varietas unggul dan alat mesin pertanian modern, namun juga harus bisa menyediakan skala lahan yang layak.

Strategi konsolidasi lahan dengan administrasi kelompok secara komunal merupakan salah satu alternatif untuk mencapai efisiensi perjuangan tani. Sementara untuk memperlihatkan kepastian harga, pemerintah perlu mengubah teladan subsidi input menjadi subsidi output. Kegagalan pasar dalam memperlihatkan harga yang layak merupakan duduk kasus yang selalu dihadapi petani. Subsidi output tentu akan menjadi insentif alasannya petani memperoleh harga tinggi ketika menjual produk.

Pada tingkat makro, implementasi kebijakan pemerintah perlu menjadi tolok ukur utama keberhasilan mengendalikan alih fungsi sawah. Undang-Undang No 41 Tahun 2009 ihwal Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) bahwasanya dibentuk untuk mencegah alih fungsi lahan pangan. Namun, kenyataannya UU ini belum efektif alasannya banyak pemerintah tempat yang belum menyusun hukum turunan dan operasional untuk mengendalikan alih fungsi sawah.

Untuk itu, pemerintah sentra perlu segera mendorong pemerintah tempat menciptakan hukum di tempat dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mencegah alih fungsi sawah. Bahkan, apabila diharapkan pemerintah sentra sanggup melaksanakan intervensi dengan mengurangi dana alokasi umum dan khusus bagi tempat yang belum menuntaskan hukum turunan PLP2B.

Agus Dwi Nugroho, SP, M.Sc peneliti di Pusat Kajian Kedaulatan Pertanian (PAKTA) Fakultas Pertanian UGM


Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Indonesia Darurat Lahan Pangan?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel