Menyambut (Penetapan Tarif) Mrt Jakarta
Jakarta -Masih terperinci teringat di dalam pikiran saya ketika diundang pembahasan anjuran kereta subway atau kini dikenal sebagai Mass Rapid Transit (MRT) di Hotel Le Meridien, Jakarta oleh BAPPENAS sekitar tahun 1985. Saat itu kita mendengarkan paparan konsultan Jepang yang melaksanakan studi kelayakan. Berhubung dikala itu banyak pertanyaan saya atas paparan konsultan yang tidak dijawab dengan baik, maka pada rapat berikutnya saya tidak hadir.
Baru dikala perundingan dengan Japan International for Cooperation Agency (JICA) pada kurun Foke menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya kembali hadir sebab muncul titik terang bahwa MRT Jakarta akan segera dibangun melalui pembentukan BUMD PT MRT Jakarta.
Mulai dikala itu saya sering hadir mengikuti beberapa pertemuan, baik dengan Kementerian Perhubungan maupun dengan Pemprov DKI dan PT MRT Jakarta sendiri, termasuk ikut melaksanakan pembahasan di Kantor JICA Tokyo untuk menegosiasikan duduk kasus loan bersama Direksi PT MRT Jakarta dikala itu. Hingga kesannya dilakukan pelantikan pembangunan MRT Jakarta Tahap 1 di Lebak Bulus oleh Foke pada simpulan masa jabatannya tahun 2012.
Pembahasan terakhir ahad ini DPRD DKI menolak usulan besaran subsidi yang diajukan Pemprov DKI Jakarta. Saya sudah mulai dihubungi banyak sekali media dengan pertanyaan serupa dan pamungkas: Berapa tarif ideal untuk MRT Jakarta? Untuk menjelaskan soal tarif (bukan yang ideal, tetapi yang terjangkau oleh publik dan cukup untuk membiayai operasional MRT serta perawatan dan laba korporasi yang akan dipakai untuk investasi ke depan) harus hati-hati.
Tak Balik Modal
Investasi MRT Jakarta senilai Rp 16 triliun itu merupakan dana patungan pemerintah sentra dan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Pembiayaan proyek MRT berasal dari 49% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 51% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta. Dana tersebut merupakan pinjaman two step loan dari Japan International for Cooperation Agency (JIKA).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dikala diwawancara oleh wartawan banyak sekali media menyampaikan bahwa investasi MRT Jakarta Tahap 1 sekitar Rp 16 triliun mustahil dan tidak akan balik (modal) hanya dengan harga tiket. Hal itu dikatakannya seusai meninjau proyek MRT Jakarta di Stasiun MRT Senayan, Rabu (6/3).
SMI juga menyampaikan bahwa laba MRT bukan hanya dari penjualan tiket perjalanan. Bahkan, bila dihitung, penjualan tiket yang disetujui tidak akan menutup modal investasi yang telah digelontorkan pemerintah. Tentu menjadi kiprah pemerintah dan pemprov untuk menutup kerugian MRT melalui subsidi.
PT MRT Jakarta mengusulkan ke DPRD DKI harga tiket MRT Jakarta senilai Rp 10 ribu per penumpang untuk satu kali perjalanan dari Stasiun Lebak Bulus menuju Bundaran Hotel Indonesia atau sebaliknya. Harga tiket MRT Jakarta harus sanggup mengakomodasi biaya perjalanan sejauh 16 kilometer. Idealnya biar biaya operasi serta biaya perawatan dan laba untuk investasi MRT Jakarta tercukupi, tarif MRT Jakarta harus sebesar Rp 31.659 per penumpang untuk satu kali perjalanan.
Jika tarif hanya ditetapkan sebesar Rp 10.000 per penumpang, maka subsidi yang harus diberikan oleh Pemprov DKI biar MRT Jakarta sanggup menjalankan tugasnya dengan baik diharapkan subsidi sebesar Rp 21.659 per penumpang. Jika tarif yang disetujui kurang dari Rp 10.000 maka besaran subsidi akan meningkat.
Sekadar untuk informasi bahwa tarif per penumpang per kilometer MRT Jakarta sebesar Rp 31.659/16 = Rp 1.979. Angka ini terbilang sangat tinggi kalau dibandingkan dengan tarif per penumpang per kilometer KRL Jabodetabek yang hanya Rp 230 saja. Makara sanggup saja tarif KRL Jabodetabek akan diadaptasi oleh PT KCI biar tidak "njomplang" -tentu saja harus dengan fasilitas yang mendekati MRT Jakarta.
Untuk mengurangi besaran subsidi atau menurunkan tarif contohnya menjadi Rp 8.500 per penumpang per satu kali perjalanan sanggup dilakukan melalui non fare box policy, menyerupai pendapatan dari iklan di 13 stasiun maupun di kereta MRT Jakarta dan melalui Transit Oriented Development (TOD). Namun terkait TOD, pemprov harus hati-hati ketika mendiskusikan hal ini dengan DPRD sebab pemahaman wacana TOD banyak yang minim, termasuk abdnegara Pemprov DKI Jakarta sendiri.
Selain tarif yang harus segera ditetapkan, MRT Jakarta masih memiliki permasalahan lagi terkait tingkat kebisingan di dalam terowongan yang masih tinggi, sehingga akta layak operasi dari Dirjen Kereta Api Kementerian Perhubungan belum keluar. Artinya, MRT Jakarta belum laik operasi. Tingkat kebisingan MRT Jakarta di terowongan masih di atas 80 dBA. Sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No. 175 Tahun 2015 Pasal 15 Ayat (2a) Tentang Standar Spesifikasi Teknis Kereta Kecepatan Normal Dengan Penggerak Sendiri, tingkat kebisingan yang terjadi di ruang tertutup maksimum 80 dBA pada kecepatan maksimum operasi.
Langkah Pemerintah
Pertama, penetapan tarif MRT Jakarta harus segera diselesaikan oleh Pemprov dan DPRD DKI serta PT MRT Jakarta, mengingat waktu rencana untuk pengoperasian MRT Jakarta sudah semakin dekat.
Kedua, duduk kasus sertifikasi laik operasi dari Ditjen Kereta API yang hingga hari ini belum keluar sebab ada satu item yang belum memenuhi syarat, yaitu kasus tingkat kebisingan di terowongan yang melebihi 80 dBA.
Ketiga, mengingat banyak perusahaan multinasional dan nasional besar yang berlokasi di sepanjang Kebayoran Baru - Bundaran Hotel Indonesia pindah ke tempat TB Simatupang dan Bumi Serpong Damai (akan terus bertambah jumlahnya), maka PT MRT Jakarta harus melaksanakan kajian ulang terkait jumlah penumpang yang akan memakai MRT Jakarta. Kajian harus segera dilakukan sebelum tarif ditetapkan biar tidak salah mengkalkulasi tarif yang pada kesannya akan merugikan PT MRT Jakarta.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan pinjaman konsumen
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Belum ada Komentar untuk "Menyambut (Penetapan Tarif) Mrt Jakarta"
Posting Komentar