Wacana Pindah Ibu Kota, Dari Daendels Sampai Orba - Indonesia Bisnis

Wacana Pindah Ibu Kota, Dari Daendels Sampai Orba

Wacana Pindah Ibu Kota, dari Daendels Hingga OrbaWacana pindah ibu kota di koran usang (Foto: Sudrajat/detikcom)

Jakarta -Wacana menyoal pemindahan ibu kota masih lamat-lamat terdengar. Awal Juli 2017, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyampaikan planning pemindahan ibu kota tak lepas dari ide Presiden Joko Widodo. Ide itu timbul semenjak Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menurut Teten, sulit membenahi Jakarta. Pemerintah juga ingin ada keseimbangan antara sentra dan daerah.

Perihal ihwal ini, April 2017 lalu, Jokowi sudah melontarkan ide itu. Jokowi menuturkan, berencana memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sedangkan Wapres Jusuf Kalla melontarkan wacana, ibu kota sebaiknya dipindahkan di tengah negara, yakni Mamuju, Sulawesi Barat. Kini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sedang mengkaji lebih jauh planning pemindahan ibu kota tersebut.

Bola salju ihwal pemindahan ibu kota tolong-menolong sudah berlangsung sangat lama. Bahkan, semenjak ratusan tahun silam, ketika nama Indonesia belum muncul.

Rencana Daendels yang Gagal

Herman Willem Daendels, Gunernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1818) yang populer kejam itu gusar. Pasalnya, Batavia sedang diincar Inggris. Daendels sadar, Batavia kini sudah tak layak untuk sentra pertahanan Pulau Jawa. Tembok-tembok pertahanannya yang sudah keropos, dan serdadunya yang dapat mati alasannya yaitu iklim, tentu saja akan hancur dalam sekali gebrak oleh pasukan Inggris.

Ia mendapat hak untuk memindahkan ibu kota ke kawasan yang lebih sehat, yakni Surabaya. Menurut Bernard H.M. Vlekke dalam bukunya Nusantara: Sejarah Indonesia (2008: 284), Daendels sendiri banyak berpikir. Menimbang-nimbang.

Surabaya sudah ia reorganisasi sebagai basis operasi militer yang lebih mumpuni ketimbang Batavia. Akhirnya ia menyerah. Tak jadi. Ia kesulitan memindah semua permukiman Batavia, yang penuh gudang-gudang dan berkapal-kapal barang dagangan berharga.

Pendahulunya yang mewarisi kebangkrutan VOC, Pieter Gerardus van Overstraten (1796-1801), sudah mengemukakan ihwal pemindahan pemerintahan ke pedalaman Jawa Tengah pada simpulan 1700-an. Menurut Leonard Blusse dalam bukunya Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (2004: 63-64), ia hendak memindahkan markas besarnya ke Surabaya atau Semarang.

Pertimbangannya cukup politis. Ia ingin kekuasaannya terasa di kawasan Jawa yang paling padat penduduknya. Blusse menulis, pembangunan Semarang dapat memberi jaminan pasokan padi dan kayu yang berkelanjutan. Lebih penting lagi, para penguasa feodal yang paling berkuasa, yakni Susuhunan Solo, Sultan Yogyakarta, dan Adipati Madura, berada tak terlampau jauh. Namun, kesannya Overstraten berpikir planning radikal itu kurang bijaksana.

Daendels pun, ibarat ditulis Vlekke, kemudian hanya memindahkan pecahan perumahan kota ke jarak beberapa kilometer arah pedalaman, kawasan pinggiran yang ketika itu disebut Weltevreden.

Ia meluluhlantakan sejumlah rumah dan kastil kuno warisan Jan Pieterszoon Coen di pecahan usang kota tersebut. Ibu kota pun beralih, dari kota pelabuhan menjadi kota garnisun. Di Weltevreden dibangun benteng-benteng. Namun, sejarah mencatat, Inggris tetap berhasil menguasai Batavia pada 1811.

Sukarno dan Palangkaraya

Ratusan tahun berlalu. Suatu hari pada 1957, Presiden Sukarno memancangkan tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya. Menurut Wijanarka dalam bukunya Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, sebelumnya Bung Karno memang sedang menyiapkan masterplan ibu kota RI.

Bung Karno menciptakan masterplan itu pada 1956, yang terinspirasi dari hasil perjalanan ke India, Amerika Serikat, Kanada, Rusia, Italia, Jerman, Swiss, dan Tiongkok.

Kedudukan Jakarta sendiri, berdasarkan Wijanarka, dari 17 Agustus 1945 sampai dikeluarkan Penetapan Presiden No 6 tahun 1959, hanya memangku kiprah sebagai ibu kota RI. Jakarta gres resmi menyandang sebagai ibu kota RI semenjak dikeluarkan UU No. 10 tahun 1964 (Wijanarka, 2006: 77).

Setelah keluat Dekrit Presiden 1959, Sukarno tampak masih bimbang mengambil keputusan kedudukan ibu kota negara, antara Jakarta dan Palangkaraya. Namun, sesudah meninjau ke Palangkaraya, yang pembangunannya kurang lancar alasannya yaitu sulit melaksanakan pengadaan materi bangunan, Sukarno kesannya menjatuhkan pilihan ibu kota ke Jakarta. Dan, Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.

Wijanarka mencatat, ada tiga aspek batalnya Palangkaraya jadi ibu kota RI, yakni keberadaan sejarah Kota Jakarta, desakan para duta besar negara sahabat, dan aktivitas acara-acara internasional yang mepet (Wijanarka, 2006: 79).

Senada dengan Wijanarka, Yuke Ardhiati dalam disertasinya di Universitas Indonesia berjudul Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, dan Kria Sumbangan Soekarno di Indonesia (1926-1965), menyebut Palangkaraya memang pernah dijajaki sebagai ibu kota negara.

Tata ruang Palangkaraya pada 1957, berdasarkan Yuke, hanya berupa rancangan skematik saja. Akan tetapi, rancangan itu dipertahankan sampai kini, sebagai pola dasar perencanaan kota. Yuke menyebut, salah satunya berupa Bundaran Besar Kota Palangkaraya.

Dari sini, dapat disimpulkan, salah kaprah kalau dikatakan Sukarno pernah berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya. Sebab, berdasarkan goresan pena Wijanarka tadi, ketika itu Palangkaraya sedang dipertimbangkan menjadi ibu kota, bukan ibu kota akan dipindahkan. Jakarta pun ketika itu masih berposisi memangku kiprah sebagai ibu kota RI.

Ibu kota negara memang pernah pindah ke Yogyakarta pada 1946, alasannya yaitu situasi keamanan dan jatuhnya Jakarta ke tangan tentara Sekutu dan Belanda. Lantas, berpindah lagi pada 1948 ke Bukittinggi dengan status Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, alasannya yaitu Yogyakarta digempur habis, dan para founding father kita ditangkap.

Dan, ihwal soal memindahkan ibu kota pun pernah ramai di masa Orde Baru. Dahulu, pada 1980-an, muncul ide memindahkan ibu kota ke Jonggol, Kabupaten Bogor. Tapi, ihwal itu kembali menguap.

Pemindahan ibu kota tentu saja butuh pertimbangan yang matang, ibarat persoalan dana, infrastruktur, dan tata kota. Bisa saja dibagi beban antara Jakarta dan kota yang direncanakan akan dijadikan ibu kota itu. Semisal, membebankan Jakarta hanya sebagai sentra bisnis, dan kota yang dituju sebagai sentra pemerintahan. Namun, perlu banyak pertimbangan untuk mengarah ke sana.

Atau, barangkali ihwal ini hanya akan tinggal ihwal saja. Dari masa Daendels yang ingin pindah ke Surabaya sampai Orde Baru yang dahulu berencana pindah ke Jonggol? Entahlah.

Fandy Hutari penulis dan periset sejarah. Berminat pada kajian sejarah hiburan, terutama film dan teater. Tinggal di Jakarta.

Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Wacana Pindah Ibu Kota, Dari Daendels Sampai Orba"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel